Kumpulan Materi
Pendidikan Ke GmnI-an Pada Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB) dan Kaderisasi
Tingkat Dasar (KTD)
Disusun Oleh :
Bung Aryo Nugroho Waluyo, S.H.
Bung Yuandrey Setiawan Serang
Bung Arifudin
Sarinah Tri Oktaviani
Sarinah Wahyuni
PALANGKA RAYA
2014
Pendidikan Ke Gmni
an angkatan Tentang Marheanisme
No
|
Materi
|
Waktu
|
Tujuan
|
I
|
Sejarah lahirnya
marhaenisme
-
Realitas
sejarah kapitalisme dan imperialisme di Indonesia
-
Marhaenisme
sebagai satu keharusan sejarah (historische notwendeig)
-
Marhaenisme
dan jiwa kehidupan rakyat Indonesia
-
Marhaenisme
dan feodalisme di Indonesia
|
||
II
|
Marhaenisme
sebagai antitesa kapitalisme.
|
||
III
|
Marhaenisme
sebagai asas (ideologi)
-
Sosio
nasionalisme
-
Sosio
Demokrasi
-
Ketuhanan
Yang Maha Esa
|
||
IV
|
Marhaenisme
sebagai asas perjuangan
a)
Machtvorming
dan machtanwending
b)
Non
Kooperasi dan gerakan revolusioner
c)
Massa
Aksi dan Masalle Actie
d)
Self
reliance dan self help
|
Materi IV
Marhaenisme sebagai
asas perjuangan
Machtvorming dan machtanwending
Machtsvorming, Radikalisme, Aksi-Massa[1]
Sana mau kesana, sini mau kesini,–begitulah
gambarnya pertentangan disesuatu koloni. Pertentangan inilah yang tadi membawa
kita keatas padangnya politik selfhelp dan non-cooperation.
Tetapi pertentangan itu membawa kita juga kedalam kawah candradimukanya
politik-machtsvorming, radikalisme dan massa-aksi.
Apa artinya machtsvorming itu
? Machtsvorming adalah berarti vormingnya macht,
pembikinan tenaga, pembikinan kuasa. Machtsvorming adalah
jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita. Paksaan ini
adalah perlu, oleh karena “sana mau kesana, sini mau kesini”. Dengarkanlah apa
yang tempo hari saya katakan dalam saya punya pledoi :
“Machtsvorming, pembikin kuasa,—oleh
karena soal kolonial adalah soal kuasa, soal macht.Machtsvorming,
oleh karena seluruh riwayat dunia menunjukkan, bahwa perubahan-perubahan besar
hanyalah diadakan oleh kaum yang menang, kalau pertimbangan akan untung rugi
menyuruhnya, atau kalau sesuatu macht menuntutkannya.
“Tak pernahlah sesuatu kelas suka melepaskan
hak-haknya dengan relanya kemauan sendiri, “—“nooit heefteen klasse
vrijwillig van haar bevoorrechte positie afstand gedaan,” begitulah Karl
Marx berkata….. Selama Rakyat Indonesia belum mengadakan suatu macht yang
maha sentosa, selama Rakyat itu masih saja tercerai-berai dengan tiada
kerukunan satu sama lain, selama Rakyat itu belum bisa mendorongkan semua
kemauannya dengan suatu kekuasaan yang teratur dan tersusun,–selama itu maka
kaum imprealisme yang mencari untung sendiri itu akan tetaplah memandang
kepadanya sebagai seekor kambing yang menurut, dan akan terus mengabaikan
segala tuntutan-tuntutannya. Sebab, tiap-tiap tuntutan Rakyat Indonesia adalah
merugikan kepada imprealisme; tiap-tiap tuntutan Rakyat Indonesia tidaklah akan
diturutinya, kalau kaum imprealisme tidak terpaksa menurutinya. Tiap-tiap
kemenangan Rakyat Indonesia adalah buahnya desakan yang Rakyat itu
jalankan,–tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia itu adalah suatuafgedwongen
concessie ![1]”
Dan jikalau kita bergerak, maka haruslah selamanya
kita ingat, bahwa cita-cita kita dapat terkabul, selama kita belum mempunyai
kekuasaan yang perlu untuk mendesakkan terkabulnya cita-cita itu. [Soekarno]
Menjadi dus: machtsvorming adalah perlu
oleh karena, berhubung dengan adanya antitesa antara sana dan disini, kaum sana
tidak mau dengan kerelaannya kemauan sendiri tunduk kepada kita, jika tidak ada
paksa dengan desakan yang ia tak dapat menahannya. Dan oleh karena desakan itu
hanya bisa kita jalankan bilamana kita mempunyai tenaga, yakni bilamana kita
mempunyai kekuatan, mempunyai kekuasaan, mempunyai macht, maka kita
harus menyusun macht itu,–mengerjakan machtsvorming itu
dengan segiat-giatnya dan serajin-rajinnya !
Kita harus jauh dari politiknya kaum lunak, yang
selamanya mengira, bahwa sudah cukuplah dengan menyakinkan kaum sana itu
tentang keadilannya kita punya tuntutan-tuntutan: mereka mengira, bahwa kaum
sana itu, asal saja sudah “berbalik fikiran” tentu akan menuruti segala kita
punya kemauan. Amboi jikalau benar sana begitu, barangkali Indonesia sudah lama
merdeka ! Jika kaum sana benar begitu, maka kita semua boleh tidur, dan
hanya satu dua orang saja daripada kita boleh “bicara” dengan kaum sana itu,
“membalikkan fikirannya” ! Tetapi keadaaan yang senyatanya tidak begitu.
Keadaan yang senyatanya ialah, bahwa kaum sana disini itu tidak buat
mendengarkan keadilannya kita punya tuntutan, tidak pun buat menurut kita punya
tuntutan itu bilamana “sudah ternyata adilnya”, tetapi ialah tak lain tak bukan
buat urusan sendiri, buat kepentingan sendiri, buat keuntungan sendiri,–adil
atau tidak adil. Keadaan yang senyatanya ialah, bahwa “sana mau kesana, sini
mau kesini”.
Maka oleh karena itulah kaum Marhaen Indonesia, yang
didalam politiknya selamanya harus jauh sekali daripada pengalaman yang
bertentangan dengan keadaan yang nyata, yang selamanya harus berdiri diatas
bumi yang nyata dan tidak boleh terapung-apung diatas awannya gagasan, harus
menolak politik otak-angin daripada kaum lunak itu, dan menjalankan politik
mentah sementah-mentahnya, yaitu: menyusun dimuka machtnya
imprealisme itu machtnya kaum Marhaen pula. Memang yang
sebenar-benarnya disebutkan politik, itu bukanlah kepandaian putar lidah, bukan
kepandaian menggerutu dengan hati dendam terhadap pada kaum disana, bukan
kepandaian tawar-menawar, tetapi politik buat kaum Marhaen hanyalah menyusun machtsvorming dan mengusahakan machtsvorming itu, machtsvorming yang terpikul oleh azas yang radikal.
Jawaharlal Nehru, itu pemimpin Rakyat
India, pernah berkata: “Dan jikalau kita bergerak, maka haruslah selamanya kita
ingat, bahwa cita-cita kita dapat terkabul, selama kita belum mempunyai
kekuasaan yang perlu untuk mendesakkan terkabulnya cita-cita itu. Sebab kita
berhadap-hadapan dengan musuh, yang tak sudi menuruti tuntutan-tuntutan kita,
walaupun sekecil-kecilnya. Tiap-tiap kemenangan kita, dari yang besar-besar
sampai kecil-kecil, adalah hasilnya desakan dengan kita punya tenaga. Oleh
karena itu “teori” dan “prinsip” saja buat saja belum cukup. Tiap-tiap orang
bisa menutup dirinya didalam kamar, dan menggerutu “ini tidak menurut teori”
“itu tidak menurut prinsip”. Saya tidak banyak menghargakan orang yang
demikian itu. Tetapi yang paling sukar ialah, dimuka musuh yang kuat dan
membuta-tuli ini, menyusun suatu macht yang terpikul oleh
prinsip. Keprinsipilan dan keradikalan zonder machtsvorming yang
bisa menundukkan musuh didalam perjuangan yang hebat, bolehlah kita buang
kedalam sungai Gangga. Keprinsipilan dan keradikalan yang menjelmakan kekuasaan
itulah kemauan Ibu !”
Perkataan Jawaharlal Nehru ini adalah perkataan yang
cocok sekali buat perjuangan Marhaen di Indonesia melawan musuh yang juga kuat
dan membuta-tuli itu. Juga kita kaum Marhaen Indonesia tak cukup dengan
menggerutu saja. Juga kita harus menjelmakan azas atau prinsip kita kedalam
suatu machtsvorming yang maha kuasa. Juga kita harus insyaf
seinsyaf-insyafnya, bahwa imprealisme tak dapat dikalahkan dengan azas atau
prinsip saja, melainkan dengan machtsvorming yang terpikul oleh azas atau
prinsip itu!
Yang terpikul oleh azas atau prinsip ! Sebab “machtsvorming”
yang tidak terpikul oleh azas atau prinsip, sebenarnya bukan machtsvorming, bukan
pembikinan kuasa ! ” Machtsvorming” yangzonder azas
atau prinsip, yaitu ” machtsvorming” yang opportunis alias
tawar-menawar, yang sikapnya sebentar begini sebentar begitu menurut angin-nya
kaum sana, yang tidak perempuan tidak laki-laki,– “machtsvorming” yang
demikian itu bukan suatu macht yang mau menundukkan kaum sana,
tetapi suatu bola yang dipermainkan oleh kaum sana belaka. Tetapi machtsvorming
kita haruslah machtsvorming yang terpikul oleh suatu azas:
azas antitesa antara sana dan sini, azas kemerdekaan-nasional, azas
keMarhaenan, azas bukan tawar-menawar tapi mau menggugurkan stelsel kapitalisme-imprealisme
samasekali, azas mau mendirikan suatu masyarakat-baru diatas
runtuhan-runtuhannya kapitalisme-imprealisme itu, yang terpikul oleh kesama-rasa-sama-rataan.
Azas inilah yang boleh dicakup dengan satu perkataan saja, yaitu perkataan
radikalisme. Radikalisme,—terambil dari perkataan radix, yang artinya akar–,
radikalisme haruslah azas machtsvorming Marhaen: berjuang
tidak setengah-setengahan tawar-menawar tetapi terjun sampai keakar-akarnya
kesengitan antitesa, tidak setengah-setengahan hanya mencari “untung ini hari”
saja tapi mau menjebol stelsel kapitalisme-imprealisme sampai
keakar-akarnya, tidak setengah-setengahan mau mengadakan perubahan-perubahan
yang kecil-kecil saja tapi mau mendirikan masyarakat baru samasekali diatas
akar-akar yang baru, –berjuang habis-habisan tenaga membongkar pergaulan hidup
sekarang ini sampai keakar-akarnya untuk mendirikan pergaulan hidup baru diatas
akar-akar yang baru. Radikalisme ini harus menjadi nyawanya machtsvorming Marhaen.
Marhaen harus menolak dengan kejijikan segala sikap setengah-setengahan yang
tidak berjuang tetapi hanya tawar-menawar, Marhaen harus mengusir dari kalangan
Marhaen segala opportunisme, reformisme, dan possibilisme yang
selamanya menghitung-hitung untung rugi sebagai juru kedai yang takut uangnya
hilang sekepeng. Marhaen harus mengusir jauh-jauh segala politik yang mau
menutupi atau menipiskan antitesa antara sana dan sini itu, Marhaen malahan
harus menajamkan antitesa antara sana dan sini itu, –tidak mau berdamai
tawar-menawar dengan kaum sana itu, tetapi berjuang habis-habisan dengan kaum
sana walau kemuka pintu-gerbangnya nerakapun juga adanya. Marhaen harus dengan
sekelabatan matanya saja mengerti, bahwa perjuangannya, yang bermaksud
membongkar kapitalisme-imprealisme sampai keakar-akarnya itu, tidak akan bisa
berhasil dengan politik reformisme yang mau “berniaga” dengan kaum kapitalisme
itu, yang isme-nya mau digugurkan itu. Marhaen harus mengambil perkataannya
Karl Leibknecht, bahwa “perdamaian antara Rakyat-jelata dengan kaum atasan
adalah berarti mengorbankan Rakyat-jelata itu”,—membinasakan Rakyat-jelata itu.
Marhaen dus, untuk mengulangi lagi, harus berjuang zonder damai sampai keakar-akarnya
kesengitan antitesa, berjuang zonder damai menjebol keakar-akarnya stelsel kapitalisme-imprealisme,
berjuang zonder damai menanamkan akar-akarnya pergaulan hidup yang
baru,—berjuang zonder damai dengan bersemangat radikalisme dan sepak-terjang radikalisme
!
Tetapi bagaimanakah jalan-jalannya kaum Marhaen
menjelmakan machtsvorming yang berazaskan radikalisme itu ? Tidak ada jalan
dua, tidak ada jalan tiga, melainkan ada satu jalan saja: jalannya massa-aksi.
Dengan massa-aksi kaum Marhaen bisa mengobar-ngobarkan semangatnya sampai
kepuncak angkasa, dengan massa-aksi mereka bisa menghebatkan kemajuannya
menjadi sehebatnya gelombang samudra, dengan massa-aksi mereka bisa mengolah
mereka punya tenaga menjadi tenaganya gempa. Dengan massa-aksi mereka bisa
menyusun-nyusun punya geest, mereka punya will, mereka
punya daden,—dengan massa-aksi mereka bisa menyusun mereka punya
machtsvorming sampai sekuasa-kuasanya. Machtsvorming bukanlah penyusun tenaga
wadag saja, machtsvorming adalah juga penyusun tenaga semangat, tenaga kemauan,
tenaga roch, tenaga nyawa. Rohani dan jasmaninya massa menjadilah seolah-olah
disiram air Kahuripan didalam massa-aksi itu. Apa yang Marhaen satu persatunya
tidak bisa menciptakan, apa yang Marhaen satu persatunya bisa “menyemangatkan”
dan “memaukan”, dapatlah diciptakan oleh luluhan Marhaen yang sudah menjadi
massa itu. Semangatnya massa, kemauannya massa, keberaniannya massa, “apinya”
massa, bukanlah sama dengan semangat atau kemauannya Marhaen satu persatu,
bukan sama dengan jumlahnya semangat atau kemauan Marhaen-Marhaen itu
semuanya,—tetapi massa seolah-olah mempunyai “semangat-massa” sendiri,
“kemauan-massa” “keberanian-massa” sendiri, “api-massa” sendiri, yang
lebih-lebih hebat daripada jumlah semangat-semangat atau kemauan-kemauan itu
adanya. “Api-massa” inilah melahirkan “perbuatan-perbuatan massa” yang hebatnya
bisa sampai mengoyahkan sendi-sendinya masyarakat, ia, sampai menggugurkan
masyarakat dengan segala sendi-sendi dan alas-alasnya.
Sebab, apakah arti massa itu ? massa bukanlah Cuma
“Rakyat-jelata yang berjuta-juta” saja, massa adalah Rakyat-jelata yang sudah
terluluh mempunyai semangat satu, kemauan satu, roch dan jiwa satu. Massa
adalah deeg, djeladren,luluhan. Ia dus bukan gundukan
Rakyat-jelata saja yang berlainan-lainan semangat dan kemauan, ia bukan
misalnya gundukan Rakyat-jelata apada waktu hari Lebaran,—yang sebagian ingin
pergi kekuburan, yang sebagian ingin pergi berjalan-jalan pamer pakaiannya yang
baru, yang sebagian ingin menemui pamili keluarganya untuk bersilahturrahmi—,
ia adalah suatu luluhan yang satu semangatnya, satu kemauannya, satu tekadnya,
satu rohani dan jasmaninya. Ia didalam riwayat-dunia selamanya adalah gundukan
Rakyat-jelata, yang karena sama-sama menderita tindasan daripada kaum atasan dan
sama-sama menderita nasib sengsara yang seolah-olah tak dapat terpikul lagi,
sama-sama pula timbul rasa-kemarahannya, sama-sama timbul kehendaknya melawan
keadaan yang menyengsarakan mereka itu, sama-sama berjuang membongkar keadaan
itu,—sama-sama terluluh menjadi satu luluhan radikal yang gerak-bangkit
bergelora sebagai ombak membanting di pantai.
Inilah yang dinamakan massa-aksi : aksinya
Rakyat-jelata yang sudah terluluh menjadi jiwa baru, melawan sesuatu keadaan
yang mereka tidak sudi pikul lagi. Memang massa-aksi selamanya radikal. Memang
massa-aksi adalah selamanya membuka dan menjebol akar-akarnya sesuatu keadaan.
Memang massa-aksi adalah selamanya mau menanam akar-akarnya keadaan yang baru.
Perubahan-perubahan yang besar dalam riwayat dunia selamanya diparajikan oleh
massa-aksi,—begitulah saja diatas tadi berkata. Memang massa-aksi tidak bisa
hebat kalau setengah-setengahan, massa-aksi tidak bisa kalau hanya mau mengejar
“keuntungan-keuntungan kecil-ini-hari” saja. Massa-aksi barulah dengan sesungguh-sungguhnya
berderus-derusan menjadi massa-aksi, jikalau Rakyat-jelata itu sudah berniat
membongkar samasekali keadaan tua diganti samasekali dengan keadaan yang baru.
“Een nieuw levensideaal moet de massa aanvuren”, “suatu cita-cita
pergaulan hidup baru harus menyala didalam dadanya massa”, begitulah menurut
seorang pemimpin besar syaratnya massa-aksi. Maka oleh karena itulah bagi kaum
Marhaen satu kali akan datang saatnya, yang juga massa-aksi kita akan hidup dan
bangkit sehebat-hebatnya: Kita punya cita-cita, kita punya idealisme bukanlah
suatu idealisme politik saja, kita punya idealisme bukanlah “Indonesia-Merdeka”
saja, kita punya idealisme adalah idealisme masyarakat-baru, suatusocial
idealisme yang gilang-gemilang. Social-idealisme inilah
yang menjadi motor pertama kita punya massa-aksi !
Kaum lunak disini juga sering mengemak-kemikkan
perkataan “massa-aksi”. Kaum lunak disini juga mau mengadakan “massa-aksi” .
Amboi ! Seolah-olah massa-aksi bisa dipisahkan daripada radikalisme.
Seolah-olah Rakyat-jelata bisa menjadi massa karena cita-cita yang bukan
cita-cita Rakyat-jelata, yakni cita-cita “bank-bank-an”,
“rumah-sakit-rumah-sakitan”, “warung-warungan”. Seolah-olah apinya
Rakyat-jelata bisa dipasang dan dijadikan api-massa dengan api melempemnya politik
“pelan-pelanan” yang tidak bermaksud lenyap kapitalisme-imprealisme sampai
keakar-akarnya. Seolah-olah massa-aksi bisa”dibikin” dengan mereka punya
politik yang sampai kiamat “berfikir” dan “menghitung-hitung”. Seolah-olah
riwayat-dunia tidak saban-saban menunjuk, bahwa “nimmer kan de massa langs
den weg der zuiver verstandelijke berekening tot heroische daden bezield
worden”, yakni bahwa “massa tak pernah bisa disuruh melahirkan
perbuatan-perbuatan besar dengan politik menghitung-hitung ! “[i]
O, kini kita mengerti : mereka memang tidak tahu
apakah massa-aksi itu ! Mereka mengira, bahwa massa-aksi adalah vergadering-openbaar yang
berbarengan ! Mereka mengira sudah “mengadakan massa-aksi”, kalau sudah
mengadakan rapat-rapat-umum dimana-mana ! Haha, mereka mengira bahwa
“massa-aksi” itu boleh mulai pukul sembilan pagi dan berhenti pukul satu siang
! Kalau begitu gampang membikin massa-aksi, kalau begitu gampang membikin
massa-aksi boleh “diperintahkan” menurut “sakersa-kersanya saja” juragan
pemimpin, barangkali massa-aksi di Indonesia sehebat-hebatnya, dan…….Indonesia
sudah merdeka ! Tetapi tidak ! –Massa-aksi bukan “vergadering-vergadering-openbaar yang
berbarengan” harus mulai pukul sembilan teng pagi-pagi ! Massa-aksi tidak bisa
“diperintahkan” atau “dibikin” orang, tidak bisa dipabrikkan oleh pemimpin,
tidak bisa “harus mulai pukul sembilan teng”, massa-aksi adalah didalam
hakekatnya bikinan masyarakat yang mau melahirkan masyarakat baru, dan
karenanya butuh akan “seorang paraji”. Massa-aksi adalah aksinya Rakyat-jelata
yang, karena kesengsaraan, telah terluluh menjadi satu jiwa baru yang radikal,
dan bermaksud “memarajikan” terlahirnya masyarakat baru!
Tidak ! Kaum lunak dengan kelunakannya itu memang
tidak bisa “mengadakan” massa-aksi, mereka memang tidak bisa menjadi motornya
massa-aksi, memang tidak bisa terpanggil oleh riwayat untuk menjadi motornya
massa-aksi,—walaupun misalnya perhimpunannya beranggota ribuan, ketian, jutaan
! Sebab—tadi sudah saja terangkan—, massa-aksi meminta radikalisme, berisi
radikalisme, vooronderstellen radicalisme. Paling mujur kaum lunak
itu dengan kelunakannya, kalau bisa menggerakkan beribu-ribu Rakyat-jelata,
hanya melahirkan massa-aksi belaka.
Apakah massale actie ? Massacale
actie adalah “pergerakan” Rakyat, yang benar orangnya ribuan atau ketian atau
jutaan, yang benar jumlah orangnya besar sekali, tapi yang tidak radikal, tidaksociaal-revolutionair,
tidak bermaksud membongkar akar-akarnya masyarakat-tua, untuk mendirikan
masyarakat baru dengan akar-akar yang baru. Massale actie bukan
luluhan Rakyat-jelata yang menyala-nyala apa-massanya, bukan massa didalam
makna djeladren atau deeg yang satu jiwanya
dan satu nyawanya, melainkan hanya gerombolan Rakyat belaka yang tidak bernyawa
satu. Massale actie tak bisa melahirkan masyarakat baru, dan
memang bukan parajinya masyarakat baru. Lihatlah misalnya pergerakan Rakyat
Indonesia dulu, tatkala Sarekat Islam baru lahir di dunia. Lihat pula
pergerakan Rakyat di Ngajodya sekarang, yakni di Matarram. Ribuan, ketian,
laksaan, jutaan Rakyat sama bergerak, jutaan Rakyat sama “beraksi”,—tetapi
aksinya itu hanyalah suatu massacale actie belaka. Aksinya
bukan suatu massa-aksi, oleh karena tidak bersifat luluhan tapi bersifat
gerombolan, tidak sociaal-radicaal tapi sociaal-behoundend,
tidak bermaksud membuang segenap masyarakat tua tapi hanya bermaksud menambal
amohnya masyarakat itu.
Massa-aksi dan massacale actie,—hendaklah
pemimpin-pemimpinnya kaum Marhaen senantiasa memperhatikan perbedaannya antara
dua perkataan itu. Hendaklah pemimpin-pemimpin itu jangan lekas tersilaukan
mata, kalau melihat “banyak orang” sama “bergerak”, dan lantas mengira : “ha,
Indonesia kini lekas merdeka”. Sebab “banyaknya orang”, misalnya dizaman baru
munculnya Sarekat Islam didunia, tatkala semua haluan ada gerombolan menjadi
satu, tatkala disitu ada kaum Marhaennya, ada kaum priayayinya, ada kaum
saudagarnya, ada kaum borjuisnya, tatkala Sarekat Islam menjadi gado-gado
haluan Islamisme, nasionalisme dan “sosialisme”, tatkala dus pergerakan Sarekat
Islam itu bukan pergerakan luluhan tapi hanya suatu pergerakan gerombolan,
bukan massa-aksi tetapi massale aksi,—adakah banyaknya orang
dipergerakan Sarekat Islam itu bisa memarajikan masyarakat baru, bahkan :
adakah pergerakan Sarekat Islam itu bisa mendatangkan perubahan-perubahan yang
agak besar ? Adakah, begitulah saya malahan bertanya, Sarekat Islam itu bisa
membangkitkan massa-aksi ? Tidak, pergerakan Sarekat Islam yang dulu itu tidak
bisa membangkitkan massa-aksi, tidak bisa menjadi motornya massa-aksi, oleh
karena tidak berdiri diatas pendirian yang radikal. Ia tidak berdiri diatas
antitesa sana-sini, ia tidak berprogram Indonesia-Merdeka, ia tidak berprogram
terang-terangan mau menjebol semua akar-akarnya stelsel kapitalisme-imprealisme,
ia tidak politiek-radicaal, tidak sociaal-radicaal.
Oleh karena itu, maka partai Marhaen yang bermaksud
menjadi partai pelopornya massa-aksi, haruslah selamanya mempunyai azas-perjuangan
dan program yang 100% radikal: antitesa, perlawanan zonder damai, kemarhaenan,
melenyapkan cara susunan masyarakat sekarang, mencapai cara susunan masyarakat
baru,—itu semua harus tertulis dengan aksara yang berapi-apian diatas
benderanya partai dan diatas panji-panjinya partai. Tetapi azas,
azas-perjuangan dan program yang dituliskan diatas bendera dan panji itu akan
tidak banyak berarti, akan seakan-akan omong kosong, akan tinggal aksara yang
mati belaka, jikalau tidak kita kerjakan dengan habis-habisan kita punya
enenrgi,—membanting kita punya tulang, memeras kita punya keringat,
mengulur-ulur kita punya tenaga menjelmakan segala apa yang termaktub
didalamnya dan segala apa yang dijanjikan kepada massa. Azas, azas-perjuangan
dan program itu akan tinggal aksara yang mati, jikalau kita tidak berjuang
dengan segala keuletannya dan kegagahannya partai pahlawan yang lebih sanggup
disuruh bekerja mati-matian daripada disuruh berhenti, berjuang mengerjakan
segala kewajibannya suatu partai pelopor, yakni berjuang membangkitkan
massa-aksi dan mengomando massa-aksi kearah surganya dan kemenangan.
Dan bagaimana partai-pelopor harus berjuang ?
Partai-pelopor pertama-tama harus menyempurnakan diri sendiri. Ia belum bisa
menjadi partai-pelopor yang sempurna, sebelum ia sendiri sempurna didalam
keyakinannya, didalam disiplinnya, didalam organisasinya, didalam rohaninya dan
jasmaninya. Oleh karena itu ia pertama-tama harus memperkokoh rohani dan
jasmaninya sendiri lebih dulu, membikin dan menjaga yang segenap
sifat-hakekatnya, segenap wezennya, adalah teguh dan kokoh sebagai baja.
Rohani dikokohkan dengan penjuluhan teori kepada
anggota-anggotanya, penjuluhan dengan kursus dan majalah dan lain sebagainya
tentang segala seluk-beluknya nasib mereka, musuh mereka, perjuangan mereka,
agar supaya semua anggota partai menjadi satu keyakinan, satu semangat, satu
kemauan-maha-hebat mau berjuang habis-habisan menundukkan musuh yang kini
nyata-nyata angkara-murkanya, melalui jalan yang kini nyata-nyata terang dan
manfaatnya. Hanya dengan penjuluhan teori yang demikian itu,—teori yang
radikal—, maka partai-pelopor bisa mengeraskan rohaninya baja, dan bisa
menuntun massa kedalam perjuangan yang radikal. “Ohneradikale Theorie keine
radikale Bewegung”, “zonder teori-radikal mustahil ada pergerakan-radikal”,
adalah suatu ucapan Marx yang jitu dan berisi kebenaran yang senyata-nyatanya.
Segala seluk-beluk pergerakan, seluk-beluknya azas, azas perjuangan dan
program, segala seluk-beluknya, strategi dan taktik haruslah menjadi satu
keyakinan yang terang-benderang bagi segenap partai,satu zat perjuangan yang
menyerapi darah dagingnya segenap anggota partai, sehingga partai menjadi satu
jiwa yang yakin dan tak kenal akan sjakwangsangka. Tiap-tiap
anggota partai yang nyeleweng kearah reformisme, tiap-tiap fikiran yang
nyeleweng kearah reformisme, tiap-tiap fikiran yang nyeleweng kearah reformisme
harus “diuji” sebersih-bersihnya, dan kalau tidak bisa menjadi “bersih”
ditendang dari kalangan partai zonder pardon dan zonder ampun !
Pembaca membantah : kalau begitu tidak ada demokrasi
didalam kalbunya partai ! Memang ! Partai didalam kalbu sendiri tidak boleh
berdemokrasi didalam makna “semua fikiran boleh merdeka”,—tidak boleh
berdemokrasi didalam makna segala “isme” boleh leluasa,—partai hanyalah
mengenal satu fikiran dan satu isme : fikiran dan isme radikal yang 100%
tanggung mengalahkan musuh. Demokrasi yang boleh dalam kalbunya partai-pelopor
bukan demokrasi biasa, demokrasi partai-pelopor itu adalah demokrasi yang
dengan bahasa asing dinamakandemocratisch-centralisme : suatu
demokrasi, yang memberi kekuasaan pada pucuk-pimpinan buat menghukum tiap-tiap
penyelewengan, menendang tiap-tiap anggota atau bagian-partai yang
membahayakan strijdpositienja massa. “Didalam partai tak boleh
ada kemerdekaan fikiran yang semau-maunya saja; kokohnya persatuan partai itu
adalah terletak didalam persatuan keyakinan”. Inilah ajaran seorang pemimpin
besar tentang kepartaian yang sangat harus diperhatikan. Tiap-tiap
penyelewengan tak boleh diampuni; tiap-tiap penyelewengan harus didenda dengan
dampratan yang sepedas-pedasnya atau tendangan yang sesegera-segeranya. Sebab
partai-pelopor yang didalam kalbunya sendiri masih sleweng-sleweng,
partai-pelopor yang didalam kalangan sendiri masih ragu-ragu, partai-pelopor
yang demikian itu mustahil bisa mempelopori massa !
Dan bukan saja menghukum menyeleweng kearah
reformisme ! penyelewengan kearah anarcho-syndicalisme-pun, penyelewengan
kearah amuk-amukan zonder fikiran, penyelewengan kearah perbuatan-perbuatan atau
fikiran-fikiran cap mata-gelap, harus juga dikoreksi dan mendapat dampratan.
Penyelewengan inilah yang sering mengeluarkan tuduhan “penghianatan” alias “verraad” kalau
partai menurut keyakinannya tak dapat tahu bedanya antara kekirian radikal dan
kekirian desosial,—antara kekirian yang memikul dan terpikul natuur dan
kekirian yang memikul dan terpikul hawa nafsu amarah yang tak terimbang. Partai
yang sehat selamanya harus memerangi dua macam penyelewengan
itu,—selamanya strijden naar twee froten—, agar supaya ia bisa
menjadi satu penunjuk jalan radikal yang teguh dan yakin bagi banjirnya
massa-aksi yang bergelombang-gelombang menuju kelautan merdeka.
Oleh karena itulah maka salah satu syaratnya
partai-pelopor adalah disiplin. Disiplin, disiplin yang kerasnya sebagai baja,
disiplin yang zonder ampun dan zonder pardon menghukum tiap-tiap anggota yang
berani melanggarnya, adalah salah satu nyawa dari partai-pelopor itu ! Bukan
saja disiplin terhadap pada ideologinya radikalisme; bukan saja disiplin
terhadap pada “bagian teori” daripada radikalisme. Tetapi juga disiplin
terhadap pada segala halnya partai : disiplin teori, disiplin teori, disiplin
organisasi, disiplin taktik, disiplin propaganda,—pendeknya partai disegala
urat-uratnya dan syaraf-syarafnya harus sebagai suatu mechanisme yang tiap-tiap
skrup dan tiap-tiap rodanya berdisiplin hingga seksama.
Dalam pada itu partai tidak boleh menjadi mesin yang
tak bernyawa dan tak berubah. Partai yang demikian adalah partai yang tak
hidup, dan tofan-zaman akan segeralah menyapunya dari muka bumi. Partai yang
memikul dan terpikul natuur haruslah hidup sebagai natuur sendiri, ber-evolusi
sebagai natuur sendiri. Yang harus dicegah dan diperangi bukanlah hidupnya
partai, bukanlah evolusinya partai, bukanlah levensprocesnya partai. Yang harus
dicegah dan diperangi ialah penyakitnya partai, penyakit penyelewengan yang
membahayakan sehatnya badan-radikalisme itu. Juga natuur sendiri tidak
pernah sleweng-sleweng, juga natuur sendiri selamanya memerangi
tiap-tiap penyakit ! Tiap-tiap barang baru yang menyuburkan dan menyehatkan
badan-radikalisme itu haruslah diterima dengan gembira, tetapi tiap-tiap
penyakit badan itu harus lekas diobati dengan “kejam” dan zonder ampun. Centralisme yang
harus ada didalam kalbunya partai bukanlah centralismenya seorang
diktator, centralisme itu harus democratisch
centralisme yang partai sendiri menjadi cakrawartinya. Tetapi
sebaliknya demokrasi yang harus didalam kalbunya partai bukanlah pula demokrasi
yang memberi keleluasaan pada segala apa saja, demokrasi itu haruslahcentralistische
democratie yang memerangi segala penyakit radikalisme !
Democratie-centralisme dan centalistische democratie ,—itulah
sifatnya partai-pelopor bagian kedalam. Tapi bagaimana partai-pelopor itu
mempelori massa ? Bagaimana sikapnya keluar ? Sikap partai keluar haruslah
selamanya cocok dengan kemauan-yang-onbewust daripada massa, cocok
dengan instinctnya massa. Tidak boleh sedikit pun ia menyimpang
daripada instinct ini, tidak boleh sedipun juga ia
menghianati instinct ini. Sebab instinctnya massa
itulah yang dinamakan “kekuatan-rahasia” daripada masyarakat. Siapa yang
menjelajahi kekuatan-rahasia ini, menghianati kekuatan-rahasia ini, akan
segeralah mengalami yang ia lindas oleh rodanya masyarakat, hancur-lebur
menjadi debu. Yang harus dikerjakan oleh partai-pelopor bukannya menghianati
atau merubah kemauan-yang-onbewust daripada massa, yang harus
dikerjakan olehnya ialah membikin kemauan-yang-onbewust itu menjadi
kemauan-yang-bewust, memberi “keinsyafan” kepada instinct itu
hingga menjadi kemauan-bewust yang yakin dan terang.
Kekuatan-kekuatan massa yang tadinya tenang seolah-olah tidur, haruslah
dibangun dengan Air-Kahuripannya Keinsyafan menjadi kekuatannya massa-wil yang
bangkit dan tak dapat terhalang, ya, yang malahan bila sudah matang
sematang-matangnya, menjadi massa-wil yang kehebatan bangkit bisa menggetarkan
dunia.
Inilah pekerjaan partai-pelopor yang pertama :
mengolah kemauan-massa yang tadinya onbewustitu hingga menjadi
kemauan-massa bewust. Bentukan dan kontradiksinya perjuangan harus
ia ajarkan pada massa dengan jalan yang gampang dimengerti dan yang masuk
sampai kehati-hatiannya dan akal-semangatnya. Ia harus membuka-buka mata massa,
menggugah-gugah keyakinan massa, mengobar-ngobarkan semangat massa tentang
segala seluk-beluknya nasib dan perjuangan massa. Ia harus memberi keinsyafan
tentang apa sebabnya massa sengsara, apa sebabnya kapitalisme-imprealisme bisa
merajalela, apa sebabnya harus menuju kejembatan Indonesia-Merdeka, bagaimana
jembatan itu harus dicapai, bagaimana membongkar akar-akarnya kapitalisme. Ia
pendek-kata harus memberi pendidikan dan keisyafan pada massa buat apa ia
berjuang, dan bagaimana ia harus berjuang. Dengan banyak propaganda, massa
harus dibuka matanya, dirobek kudung ke-onbewustannya sehingga
menjadi bewust melihat segala rahasianya dunia : rapat-rapat
umum harus mendengung-dengungkan seruan partai sampai kepuncak angkasa,
surat-surat majalah dan selebaran harus terbang kian kemari sebagai daun sejati
yang tertiup angin dimusim kemarau, demontrasi-demonstrasi harus
beruntun-runtunan sebagai runtunannya ombak samudra. Dengan jalan yang demikian
itu,—dengan bersikap cocok denganinstinctnya massa dan membewustkan instinct massa
itu—, dengan jalan yang demikian itu, tidak boleh tidak, massa tentu lantas
mengindahkan seruannya partai, tentu langsung memandang kepada partai itu
sebagai suatu pelopor yang ia dengan penuh kepercayaan suka mengikuti. Diantara
obor-obornya pelbagai partai yang masing-masing mengaku mau menjuluhi
perjalanan Rakyat, massa lantas melihat hanya satu obor yang terbesar nyalanya
dan terterang sinarnya, satu obor yang terdepan jalannya, yakni obornya kita
punya partai, obornya kita punya radikalisme !
Tetapi memberi keinsyafan saja belum cukup, memberi
ke-bewust-an saja belum cukup. Keinsyafan adalah benar sangat
menghebatkan kemauan massa, keinsyafan adalah sangat mengobarkan semangat
massa, keinsyafan adalah benar sangat membajakan keberanian massa,—mengusir
tiap-tiap kemauan reformisme dari darah-daging massa—, tetapi keinsyafan
sepanjang teori saja belum bisa cukup. Rakyat barulah menjadi radikal didalam
segala-galanya kalau keinsyafan itu sudah dibarengi dengan
pengalaman-pengalaman sendiri, yakni dengan ervaringensendiri.
Pengalaman-pengalaman inilah yang sangat sekali membuka mata massa tentang
kekosongan dan kebohongan taktik reformisme,—meradikalkan semangat massa,
meradikalkan kemauan massa, meradilkalkan keberanian massa, meradikalkan
ideologi dan activiteitnya massa. “Bukan saja Rakyat tak dapat
menulis dan membaca, tetapi juga Rakyat yang terpelajar, haruslah mengalami
diatas kulitnya sendiri, betapa kosong, bohong, munafik, dan lemahnya politik
tawar-menawar, dan sebaliknya betapa kaum borjuis saban-saban menjadi gemetar
bilamana dihadapi dengan suatu aksi yang radikal, yang hanya kenal satu
hukum,—hukumnya perlawanan yang tak mau kenal damai”. Inilah ajaran pemimpin
besar yang tadi juga sudah sekali saja pinjam perkataannya. Oleh karena itu,
partai-pelopor tidak harus hanya membuka mata massa saja;—partai-pelopor harus
juga membawa massa keatas padangnya pengalaman, keatas padangnya perjuangan.
Diatas padangnya perjuangan inipun partai-pelopor ini pun mengolah tenaganya
massa, memelihara dan membesar-besarkan kekuatannya, mengukur-ukur dan
menakar-nakar keuletannya massa, menggembleng kekerasan-hati dan energinya
massa,—men-“train” segala kepandaiannya dan keberaniannya massa untuk
berjuang. “Lebih menggugahkan keinsyafan daripada semua teori adalah perbuatan,
perjuangan. Dengan kemenangan-kemenangan perjuangannya melawan simusuh, maka
partai menunjukkan kepada massa betapa besar kekuatannya massa itu, dan oleh
karenanya pula, membesarkan rasa-kekuatan massa dengan sebesar-besarnya. Tetapi
sebaliknya juga, maka kemenangan-kemenangan ini hanyalah bisa terjadi karena
suatu teori, yang memberi penjuluhan kepada massa, bagaimana caranya mengambil
hasil yang sebanyak-banyaknya daripada kekuatan-kekuatannya setiap
waktu”,—begitulah perkataan salah seorang pemimpin lain, dengan sedikit
perubahan.
Hanya begitulah sikap yang pantas menjadi sikap
suatu partai-radikal yang dengan yakin mau menjadi partai-pelopornya massa :
menjuluhi massa, dan berjuang habis-habisan dengan massa; menjuluhi massa
sambil berjuang dengan massa,—berjuang dengan massa sambil menjuluhi massa. Didalam
perjuangan ini partai-pelopor harus selamanya mengarahkan mata massa dan
perhatian massa kepada maksud yang satu-satunya harus menjadi idam-idaman massa
: gugurnya stelsel kapitalisme-imprealisme via jembatan
Indonesia-Merdeka. Partai-pelopor haruslah selamanya tetap mengonsentrasikan
semangat massa, kemauan massa, energi massa kepada satu-satunya maksud itu,—dan
tidak lain. Tiap-tiap penyelewengan harus ia buka kedoknya dimuka massa,
tiap-tiap penghianatan kepada radikalisme harus ia hukum dimuka mahkamatnya
massa, tiap-tiap keinginan akan “menggenuki” untung-untung-kecil-hari sekarang
harus ia bakar diatas dapurnya massa, tiap-tiap aliran yang hanya mau menambal
masyarakat-amoh ini harus ia musnahkan dengan simumnya radikalisme massa. Satu
tujuan, satu arah perlawanan, satu tekad pergulatan, dan bukan dua-tiga, yakni
tujuan radikal,—zonder banyak menoleh-noleh melihat dan menggenuki
hasil-hasil-kecil-ini-hari!
Dus massa tidak boleh beraksi buat
hasil-hasil-kecil-ini-hari ! Tidak begitu, sama sekali tidak begitu ! Massa
hanya tidak boleh menggenuki aksi buat hasil-hasil-kecil itu, sehingga lantas
lupa akan maksud besar yang tadi-tadinya, atau menomor-duakan maksud-besar yang
tadi-tadinya itu. Massa sambil berjalan harus tetap menuju dan mengarahkan matanya
kearah puncak gunung Indonesia-Merdeka, memandang hasil-hasil-kecil-itu hanya
sebagai bunga-bunga yang ia sambil lalu petik dipinggir jalan. Sebab,
selamanya, stelsel kapitalisme-imprealisme belum gugur, maka
massa tidak bisa mendapatkan perbaikan nasib yang 100% sempurnanya. Tapi, asal
tidak “digenuki”, asal tidak dinomor-satukan, maka perjuangan untuk
hasil-sehari-hari itu malahan adalah baik juga untuk memelihara strijdvaardigheidnya
massa. Perjuangan untuk hasil-sehari-hari itu malahan harus dijadikan suatu
tempat mengolah tenaga dan mengasah hati,—suatu scholing,
suatu training, suatu gemblengan-tenaga didalam perjuangan yang
lebih besar. “ohne den Kampf fur Reformen gibt es keinen erfolgreichen
Kampf fur die vollkommene Befreiung, onhe den Kampf fur die vollkommene keinen
erfolgreiche Kampf fur Reformen” : —“zonder perjuangan buat kemerdekaan,
tiada kemenangan bagi perjuangan buat perubahan sehari-hari.” Oleh karena
itulah partai-pelopor harus membikin pergerakan massa itu menjadi “nationale
bevrijdingsbeweging en hervormingsbeweging tegelijk”, pergerakan untuk
kemerdekaan dan untuk perbaikan-perbaikan-ini-hari. Ya, partai-pelopor harus
mengerti pula bahwa “die Reform ist ein Nebenprodukt des radikalen
Massenkampfes” yakni bahwa “Perbaikan-kecil-kecil itu adalah rontokan
daripada perjuangan massa secara radikal”.
Banyak kaum yang menyebut dirinya kaum : “radikal
100%, yang emoh akan “perjuangan kecil” sehari-hari itu. Mereka dengan jijik
mencibir kalau melihat partai mengajak massa berjuang buat turunnya belasting,
buat lenyapnya herendienst, buat tambahnya upah buruh, buat
turunnya tarif-tarif, buat lenyapnya bea-bea, buat perbaikan kecil-sehari-hari,
dan selamanya dengan angkuh berkata : “Seratus persen kemerdekaan,—dan hanya
aksi buat seratus persen kemerdekaan ! “ Ach, mereka tidak mengetahui, bahwa
didalam radicale politiek tidak adalah pertentangan antara
perjuangan buat perubahan-sehari-hari dan perjuangan buat kemerdekaan yang
leluasa, tetapi justru disesuatu hubungan yang rapat sekali, suatu “perkawinan”
yang rapat sekali, suatuwisselwerking” yang rapat sekali. “Zonder
perjuangan buat perubahan sehari-hari, tiada kemenangan bagi perjuangan buat
kemerdekaan; zonder perjuangan buat kemerdekaan, tiada kemenangan bagi
perjuangan buat perubahan sehari-hari” ! Inilah a-b-c-nya radicale
actie, inilah ha-na-ca-ra-ka-nya perlawanan radikal : perlawanan-kecil
sebagai “moment” daripada perlawanan yang besar, perlawanan-kecil
sebagai schakel didalam rantai perlawanan yang
besar,—perbedaan sama sekali setinggi langit dengan “perlawanannya” kaum
reformis yang hingga buta menggenuki perjuangan sehari-hari untuk perjuangan
sehari-hari. Semboyannya “kaum 100%” yang berbunyi : “Seratus persen
kemerdekaan, dan hanya aksi buat seratus persen kemerdekaan”, semboyan itu
harus kita koreksi menjadi “seratus persen kemerdekaan, dan aksi apa saja yang
mencepatkan seratus persen kemerdekaan ! “, dan politik reformisme harus kita
enyahkan kedalam kabutnya keadaan, kita usir kedalam liang-kuburnya
kematian,—komedi bodor ketawanya Rakyat. Demikian, dan hanya demikian
partai-pelopor harus bekerja !
Tapi toh masih ada satu hal lagi dari “kaum 100%”
itu yang harus kita koreksi : mereka biasa sekali mendo’akan Rakyat menjadi
lebih sengsara, katanya supaya Rakyat lantas suka bergerak habis-habisan !
Mereka suka-syukur, kalau belasting dinaikkan, kalau
upah-buruh diturunkan, kalau bea-bea dinaikkan, kalau tarif-tarif ditinggikan,
kalau Marhaen disengsarakan,—semua “supaya Marhaen lebih rajin suka bergerak”.
O, suatu pendirian yang jahat sekali, suatu pendirian yang durhaka sekali.
Orang yang mempunyai pendirian yang demikian itu pantas ditutup didalam penjara
seumur hidup ! Kaum “pemimpin-pemimpin” yang demikian inilah yang selama ini
saya namakan pemimpin-bejat yang kepalanya penuh dengan kebutekannya orang yang
putus-asa, pemimpin-bejat yang pikirannya keblinger dan penuh
dengan “wanhoopstheorie”.Wanhoopstheorie, keputus-asaan, oleh
karena mereka dengan kesengsaraan Rakyat yang sekarang ini tidak bisa membewustkan
Rakyat, dan lantas mengharap supaya Rakyat menjadi lebih sengsara, lebih
melarat. Wanhoopstheorie, oleh karena mereka lekas putus-asa kalau
mengalami bahwa Rakyat tak gampang dibewustkan dengan satu-dua-tiga, dan
lantas mengharap supaya Rakyat lebih lagi mendekati maut, katanya agar Rakyat
lantas gampang sedar dan sukar bergerak secara radikal ! O, pemimpin-bejat !
Pemimpin kejam ! Bergerak tidak buat meringankan nasib Rakyat, tapi bergerak
buat…..bergerak ! “Pemimpin” yang demikian itu boleh sendiri merasakan apa artinya
makan hanya satu kali satu hari ! Mengharap tambahnya kesengsaraan Rakyat !
Apakah Rakyat kini belum cukup sengsara ? Belum cukup megap-megap ? Belum cukup
dekat dengan maut ? Belum cukup menjatuhkan air-mata sehari-hari ?
Tambahnya kesengsaraan diharapkan diharapkan buat
tambahnya radikalisme ? Pemimpin-bejat, buat saja, lemparkanlah kalau perlu
semua radikalisme kedalam samudra, asal kesengsaraan Rakyat hilang ! Pemimpin
bodoh, —mengira bahwa kesengsaraan saja sudah bisa melahirkan radikalisme massa
! Radikalisme massa tidak bisa subur dengan hanya kemelaratan saja. Radikalisme
massa adalah lahir daripada perkawinannya kesengsaraan massa dengan didikan
massa, perkawinannya kesengsaraan massa dengan didikan massa, perkawinannya
kemelaratan massa dengan perjuangan massa ! jikalau kesengsaraan saja sudah
cukup buat melahirkan radikalisme massa, amboi, barangkali seluruh Rakyat
Indonesia kini sudah radikal “mbahnya radikal, ya barangkali Indonesia sudah
merdeka ! Tetapi tidak ! Kesengsaraan saja tidak cukup ! “Kesengsaraan memang
benar melahirkan radikalisme massa, tetapi hanya kalau massa itu tidak memikul
kesengsaraan itu dengan diam-diam nrimo, melainkan berjuang habis-habisan
melawan kesengsaraan itu saban hari “,—begitulah Liebknecht pernah
berkata[ii], Hanya jikalau kesengsaraan itu dibarengi dengan
didikan massa, dibarengi dengan perjuangan massa, dengan perlawanan massa,
dengan aksi massa menentang kesengsaraan itu, maka kesengsaraan bisa melahirkan
dan menyuburkan radikalisme diantara kalangan massa. Maka olehnya karena itu,
dengan kesengsaraan yang sekarang ini saja,—zonder harus mengharapkan lagi
tambahnya, sebagai kaum wanhoopstheorie—, partai-pelopor sudah bisa
membikin seluruh massa menjadi satu lautan radikalisme yang
bergelombang-gelombangan, asal saja ia pandai membuka mata massa dan pandai
mengolah tenaga massa melawan kesengsaraan itu !
Dan kaum wenhoopstheorie memberi
bukti tidak bisa mengerjakan hal yang belakangan ini. Terkutuklah mereka kalau
lantas mendo’akan tambahnya kesengsaraan Rakyat ! Audzhubillah himinasj
sjaitonirrodzjim !
Tetapi kaum partai-pelopor yang sejati, kamu harus
bisa mengerjakan syarat itu ! Adakanlah propaganda dimana-mana, adakanlah
kursus dimana-mana, adakanlah perlawanan dimana-mana, adakan anak-anak
organisasi, adakan vakbond-vakbond dan sarekat-tani—, adakan
majalah-majalah dan pamflet-pamflet dan risalah-risalah, pendek-kata adakanlah
aksi dimana-mana, dan massa yang tadinya tidur seakan-akan tergendam oleh
sapa-mantramnya imprealisme, niscaya akan bangunlah tertiup oleh
angin-hangatnya aksimu itu. Kamu sanggup bekerja,— wahai bekerjalah menurut
perjanjianmu. Bekerjalah dengan segala organisatie-talentmu, bekerjalah
sepuncak keuletanmu, bekerjalah memeras tenagamu menyusun dan membangkitkan
partai beserta vakbond-vakbond dan sarekat-tani, —sekali lagi
terutama vakbond dan sarekat-tani !—, ya didalam massa-aksi
ada faedahnya juga banyak bergembar-gembor ! Gemborkanlah juga gurungmu sampai
suaramu memenuhi alam, gerakkanlah juga penamu sampai ujungnya menyala-nyala.
Kaum reformis mengejekkan kamu, bahwa kamu terlalu banyak bergembar-gembor ?
Haha, itu kaum ngalamun ! Tidak mengetahui bahwa tiap-tiap massa-aksi ditiap-tiap
waktu pergolakan adalah berupa banyak mengorganisasi dan banyak
bergembar-gembor,—banyak menyusun, banyak mendirikan, banyak kracheten-contructie dan-formatie
dan-combinatie, tetapi juga banyak bergembar-gembor dengan mulut dan pena. Biar
mereka mengejek, biar mereka terus ngelamun, mereka punya politik toh segera
akan kedinginan didalam kabut-pengalamunannya itu. Dan mereka menyebutkan kita
kaum “destructief “, yakni kaum yang “hanya bisa merusak saja”
katanya tidak “contructief” seperti mereka, yang “politiknya” ada
“buktinya” yang berupa rumah-sakit atau warung-koperasi atau bank atau rumah
anak-yatim ?
O, perkataan jampi-jampi, o, perkataan peneluh, o,
perkataan mantram, o, tooverwoord“contructief” dan “destructief “,—begitlah
saya pernah marah-marah dalam S.I.M[iii] dan F.R[iv]Sebagian besar dari pada pergerakan Indonesia kini
seolah-olah kini kena gendhamnya mantram itu ! Sebagian besar
pergerakan Indonesia mengira, bahwa orang adalah “contructief” hanya
kalau orang mengadakan barang-barang yang boleh di raba saja, yakni hanya kalau
orang mendirikan warung, mendirikan koperasi, mendirikan sekolah-tenun,
mendirikan rumah anak-yatim, mendirikan bank-bank dan lain-lain sebagainya
saja, —pendek-kata hanya kalau orang banyak mendirikan badan-badan sosial saja
! —, sedang kaum propagandis politik yang sehari-kesehari “Cuma bicara saja”
diatas podium atau didalam surat-kabar, yang barangkali sangat sekali
menggugahkan keinsyafan politik daripada Rakyat-jelata, dengan tiada ampun lagi
diberinya cap “destructief “ alias orang “merusak” dan “tidak
mendirikan suatu apa” !
Tidak sekejap mata masuk didalam otak kaum itu,
bahwa semboyan “jangan banyak bicara” bekerjalah !” harus diartikan dalam arti
yang luas. Tidak sekejap mata masuk didalam otak kaum itu, bahwa “bekerja” itu
tidak hanya berarti mendirikan barang-barang yang boleh dilihat dan diraba
saja, yakni barang-barang yang tastbaar dan materill. Tidak
sekejap mata kaum itu mengerti bahwa perkataan “mendirikan” itu juga boleh
dipakai untuk barang yang abstrak, yakni bisa berarti mendirikan semangat,
mendirikan keinsyafan, mendirikan harapan, mendirikan ideologi ataugeestelijk
gebouw atau geestelijke artillerie yang menurut
sejarah-dunia akhirnya adalah salahsatuartillerie yang hebat buat
menggugurkan sesuatu stelsel. Tidak sekejap mata kaum itu mengerti
bahwa terutama sekali di Indonesia dengan masyarakat yang merk-ketjil dan
dengan imprealisme yang industriil itu, ada baiknya juga kita gembar-gembor,
didalam arti membanting kita punya tulang, mengucurkan kita punya keringat,
memeras kita punya tenaga untuk membuka-bukakan matanya Rakyat-jelata
tentang stelsel yang mencengkram padanya, menggugah-gugahkan
keinsyafan-politik daripada Rakyat-jelata itu, dibarengi dengan
menyusun-nyusunkan segala tenaganya didalam organisasi-organisasi yang sempurna
tekniknya dan sempurna disiplinnya, misalnya vanbond dan
sarekat-tani, —pendek-kata menghidup-hidupkan dan membesar-besarkan massa-aksi
daripada Rakyat-jelata itu adanya !
Kita boleh mendirikan warung, kita boleh mendirikan
koperasi, kita boleh mendirikan rumah anak-yatim, kita boleh mendirikan
badan-badan ekonomi dan sosial, ya, kita ada baiknya mendirikan badan-badan
ekonomi dan sosial, asal saja mengusahakan badan-badan-ekonomi dan sosial itu
sebagai tempat-tempat pendidikan persatuan radikal dan sepak-terjang radikal.
Kita ada baiknya mendirikan badan-badan-ekonomi dan sosial itu, asal saja kita
tidak “menggenuki” pekerjaan-ekonomi dan sosial itu menjadi pekerjaan yang
pertama, sambil melupakan bahwa Indonesia-Merdeka hanyalah bisa tercapai dengan politieke
massa-actie daripada Rakyat Marhaen yang hebat dan radikal.
Pendek-kata ada baiknya mendirikan badan-badan-ekonomi dan sosial itu, asal
saja kita mengusahakan badan-badan-ekonomi dan sosial itu sebagai alat-alat
daripada politieke massa-actie yang hebat dan radikal itu !
Kita, kaum massa-aksi, kita jangan terkena “contructivisme” yang
menyuruh kita hanya mendirikan warung-warung dan kedai-kedai saja. Kita harus
insyaf, bahwa contructivisme kita bukanlah contructivismenya
kaum reformis yang warung-warungan dan kedai-kedaian itu, tetapi ialah contructivismenya
radikalisme : contructivismenya yang tiap-tiap hal yang ia dirikan,
baik wadag maupun halus, baik benda maupun semangat, adalah
dengan tertentu bersifat radicaal-dynamisch membongkar
tiap-tiap batu asalnya gedungstelsel imprealisme dan kapitalisme.
Contructivisme yang mendirikan!
Tetapi juga contructivisme yang
membongkar!
Dan kaum reformis boleh terus mengejek atau
menggerutu!
[1] Artinya
concessie : Kalau simusuh, karena desakan kita, lantas menuruti sebagian atau
semua tuntutan-tuntutan kita, maka simusuh itu adalah menjalankan concessive.
[i] August
Bebel
[ii] Die
Verelendung wird zu einer Ursache Radikalisierung der Massen, aber nur deshalb,
weil die Massen die wachsende Verelendung nicht passiv ertragen, sondern einen
taglichen Kampf gegen die Verelendung fuhren.
[iii] Suluh
Indonesia Muda”
[iv] Fikiran
Ra’jati
Non Kooperasi dan gerakan revolusioner
Materi IV Point C
Massa Aksi dan Masalle Actie
SITASI
Sukarno. 1932. "Swadeshi dan Massa-Aksi". Dalam Di
Bawah Bendera Revolusi, 121-157. Jakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera
Revolusi, 1960.
ANOTASI
Naskah ini aslinya ditulis dalam Suluh Indonesia Muda pada
tahun 1932, dipidatokan di depan pelajar dan mahasiswa di satu tempat di
Jakarta. Isinya tentang perlu dan pentingnya pergerakan Rakyat Indonesia diberi
'alas teori, dan tidak boleh membeo dengan slogan-slogan orang
lain.' Mahatma Gandhi mengandalkan strategi perjuangan 'Swadesi' melawan
penjajahan Inggris di India. Swadesi adalah boikot massal membeli barang-barang
impor. Sukarno menganggap strategi Swadesi tidak cukup untuk mencapai
kemerdekaan.
“Kita harus mengerti bahwa pabrik-pabrik gula, bahwa
pabrik-pabrik karet, bahwa pabrik-pabrik kopi, bahwa pabrik-pabrik teh, bahwa
pabrik-pabrik minyak, bahwa pabrik-pabrik lain yang semacam itu, yang semua
menjadi tulang punggungnya imperialisme di Indonesia itu, akan dengan tentram
bekerja terus, walaupun seluruh rakyat Indonesia semua memakai pakaian “lurik”
atau barang-barang bikinan sendiri.” (Sukarno, 1932:154).
Untuk memahami Imperialisme, Sukarno menganjurkan
penelusurannya mulai dari asal-muasal, asas-asasnya, riwayatnya,
sepak-terjangnya dan hakekatnya.
Naskah ini memberikan penyajian data yang bagus tentang
angka-angka dan jenis barang yang diimpor dan diekspor di Indonesia pada tahun
1920-1930, sehingga kita bisa mengetahui bahwa "Imperialisme yang ada di
Indonesia itu ada terus menerus dan sudah menjadi raksasa yang makin lama makin
bertambah tangan dan kepalanya".
Sukarno menganjurkan gerakan yang tepat untuk Indonesia Merdeka adalah gerakan massa-aksi yang berfikir mendunia, berfikir “benua-perbenua”, memberikan semangat, harapan dan membangkitkan organisasi-organisasi rakyat jelata.
Kutipan
“Dan Imperialisme yang ada di Indonesia itu, sebagai yang telah sering sekali saya terangkan dimana-mana, kini sudahlah menjadi raksasa yang makin lama makin bertambah tangan dan kepalanya ... menjelma menjadi Imperialisme-modern, yang empat macam saktinya: pertama Indonesia tetap jadilevensmiddelengebied, kedua Indonesia menjadi afzetgebied, ketiga Indonesia menjadi grond-stoffengebied, keempat Indonesia menjadi exploitatiegebied daripada buitenlands surpluskapitaal.” (Sukarno, 1932:146)
“Dan Imperialisme yang ada di Indonesia itu, sebagai yang telah sering sekali saya terangkan dimana-mana, kini sudahlah menjadi raksasa yang makin lama makin bertambah tangan dan kepalanya ... menjelma menjadi Imperialisme-modern, yang empat macam saktinya: pertama Indonesia tetap jadilevensmiddelengebied, kedua Indonesia menjadi afzetgebied, ketiga Indonesia menjadi grond-stoffengebied, keempat Indonesia menjadi exploitatiegebied daripada buitenlands surpluskapitaal.” (Sukarno, 1932:146)
“Tidak!, dan sekali lagi: tidak! Tidak bolehlah kita membeo
saja kepada semboyan-semboyan yang dipakai oleh perjuangan-perjuangan rakyat di
lain negeri, tidak boleh kita meng-over saja segala leuzen zonder menganalisis
sendiri. Pergerakan Indonesia haruslah memikir sendiri, menggembleng
senjata-senjatanya sendiri. Hanya dengan cara demikianlah kita bisa menjauhi
segala pemborosan tenaga!” (Sukarno, 1932:156)[2].
Self reliance dan self help